Wednesday 23 July 2014

"Filling The Emptiness..." - Gangguan Kepribadian Ambang

Dear all! (^-^)

Selamat beribadah di bulan suci bagi teman-teman yang menjalankannya! Ini sudah memasuki hari-hari terakhir di bulan Ramadhan, ayo tetap semangat!Berdenyut (*^o^*)

By the way, sudah cukup lama saya tidak posting, ya. Berbagai hal dan kesibukan yang menyita hati, jiwa, dan pikiran membuat saya baru sempat membuka blog ini. :3
But still, rasanya saya memang butuh menulis sesuatu yang "lebih santai", dalam arti tulisan yang tidak membebani saya dengan apapun, seperti skripsi atau Tugas Akhir. (>_<) (^_^) Berdenyut

Saya bermaksud menulis tentang salah satu gangguan kepribadian yang cukup banyak ditemui di lapangan, baik dengan diagnosis positif gangguan kepribadian ini maupun sekedar kecenderungan yang dipengaruhi oleh berbagai faktor. Namun meskipun sering ditemui, gangguan kepribadian ini relatif kurang mendapatkan perhatian dibandingkan dengan masalah psikologis lainnya, terutama mengenai penanganan yang dapat dilakukan. Mari kita berbicara sedikit tentang gangguan kepribadian ambang.
Entri kali ini sedikit guro. But it's okay, tetaplah simak dengan santai. (*^_^*) Berdenyut

Gangguan Kepribadian Ambang



Gangguan kepribadian ambang atau borderline personality disorder digolongkan pada gangguan kepribadian Klaster B, yang meliputi gangguan-gangguan kepribadian yang bersifat dramatik, emosional, atau eratik. Gangguan kepribadian ini melibatkan pola pervasif dari ketidakstabilan dalam hubungan interpersonal, citra-diri, afek, dan pengontrolan impuls.
Penderita gangguan kepribadian ambang mengarah ke kehidupan yang kacau balau. Suasana hati dan hubungan-hubungan yang tidak stabil, serta pada umumnya mempunyai konsep diri yang buruk. Penderita gangguan kepribadian ini sering merasa hampa dan beresiko tinggi untuk bunuh diri (Durand dan Barlow, 2013).

Ciri-ciri lain di antaranya adalah sering tiba-tiba beralih dari marah yang intens ke depresi yang mendalam dalam waktu singkat. Penderita juga ditandai dengan impulsivitas, yang dapat dilihat dari penyalahgunaan obat dan tindakan mutilasi-diri atau melukai diri sendiri. Perilaku melukai atau menyakiti diri, seperti mengiris tubuh sendiri terkadang dideskripsikan sebagai cara untuk mengurangi ketegangan bagi orang yang melakukannya (Bohus dkk dalam Durand dan Barlow, 2013).

Nah, berikut ini adalah rangkuman kriteria gangguan kepribadian ambang berdasarkan DSM-IV-TR:

  • Pola pervasif dari ketidakstabilan dalam hubungan interpersonal, citra diri, dan afek, dan impulsivitas yang mulai muncul pada masa dewasa awal.
  • Usaha mati-matian untuk menghindari tindakan pengabaian baik yang nyata maupun imajinatif.
  • Pola hubungan interpersonal yang tidak stabil dan intens yang ditandai dengan idealisasi ekstrem dan devaluasi ekstrem yang silih berganti.
  • Citra diri atau perasaan tentang diri sendiri yang tidak stabil secara persisten.
  • Membahayakan diri sendiri, impulsivitas (misalnya penyalahgunaan substansi, mengemudi dengan sembrono).
  • Perilaku, gerak-gerik, ancaman yang mengarah pada bunuh diri atau mutilasi-diri.
  • Episode-episode disforia, iritabilitas, atau kecemasan yang intens, yang biasanya berlangsung selama beberapa jam.
  • Perasaan hampa yang kronis.
  • Kemarahan intens dan tidak semestinya atau sulit intuk mengontrol kemarahan.
  • Ide paranoid sementara yang terkait-stres atau gejala disosiatif berat.

Penyebab

Hasil dari hampir 20 penelitian keluarga menunjukkan bahwa gangguan kepribadian ambang lebih menonjol dalam keluarga-keluarga dengan gangguan ini. Gangguan tersebut juga terkait dengan gangguan suasana perasaan (misalnya, Baron, Gruen, Asnis, dan Lord, 1985; Links, Steiner, dan Husley, 1988; Zanarini, Gunderson, Marino, Schwartz, dan Frankenburg, 1988). Meskipun sebagian ciri sifat mungkin bersifat keturunan (misalnya dalam hal impulsivitas), pengaruh lingkungan juga dapat menjadi faktor yang sangat berpengaruh.



Faktor-faktor kognitif dalam gangguan kepribadian pun kini mulai diteliti. Terkait faktor kognitif, hal yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana penderita gangguan ini memproses informasi? Apakah hal ini berkontribusi terhadap kesulitan-kesulitan mereka?

Faktor psikososial juga mendapat banyak perhatian dalam penelitian mengenai gangguan kepribadian. Salah satu faktor psikososial yang banyak diteliti adalah adanya kemungkinan kontribusi trauma masa kanak-kanak, khususnya penganiayaan secara seksual dan fisik. Jika penganiayaan dan penelantaran pada masa kanak-kanak memang mengakibatkan sebagian besar kasus kepribadian ambang, maka hubungan tersebut mungkin menjelaskan mengapa lebih banyak perempuan yang mengalami gangguan kepribadian tersebut dibandingkan laki-laki. Berdasarkan kemungkinan keterkaitan tersebut, Gubderson dan Sabo (1993) menyatakan bahwa gangguan kepribadian ambang mirip dengan gangguan stres pascatrauma (PTSD), misalnya berhubungan dengan kesulitan yang dialami dalam mengatur suasana perasaan, pengendalian impuls, dan hubungan interpersonal.

Selain itu, gangguan kepribadian ambang dan PTSD juga didiskusikan dengan perspektif politis. Beberapa penulis menyebutkan bahwa apa yang disebut sebagai gangguan kepribadian ambang oleh klinisi sebenarnya tidak lebih dari kasus PTSD di kalangan perempuan. Diagnosis PTSD tersebut seolah memberikan penekanan pada viktimisasi perempuan dibandingkan dengan kondisi sakit jiwa mereka. Nah lho, padahal perbedaan tersebut sangatlah penting dalam menetapkan diagnosis. Jadi menurut Becker (2000), perdebatan mengenai hal ini tampaknya akan terus berlanjut.

Penanganannya...

Hanya ada beberapa penelitian yang menelaah efek-efek penanganan gangguan kepribadian ambang. Usaha untuk memberikan penanganan yang sukses menjadi lebih rumit karena masalah penyalahgunaan obat, kepatuhan terhadap penanganan, bahkan percobaan bunuh diri. Hal tersebut mengakibatkan banyak klinisi yang enggan menanganani orang dengan gangguan kepribadian ambang.

Linehan (1987, 1993) mengembangkan salah satu metode penanganan yang disebut dialectical behavior therapy (DBT). DBT melibatkan tindakan membantu orang mengatasi stresor yang tampaknya memicu perliaku bunuh diri (Durand dan Barlow, 2007, h.208).

Sesi-sesi individual yang dilakukan secara mingguan memberikan dukungan pada klien, dan klien diajari tentang cara mengidentifikasi dan mengatur emosinya. Pengatasan masalah ditekankan sehingga mereka dapat menangani berbagai kesulitan secara lebih efektif. Selain itu, klien menerima penanganan serupa dengan terapi yang digunakan untuk penderita PTSD, di mana kejadian-kejadian traumatik sebelumnya dialami kembali untuk membantu menghilangkan ketakutan yang terkait dengan kejadian tersebut. Penelitian hingga sejauh ini membuktikan DBT sebagai salah satu metode yang cukup menjanjikan untuk membantu penderita gangguan kepribadian ambang.

  
Just Look Around

Demikian sekilas mengenai gangguan kepribadian ambang. Ternyata panjang juga, ya. (>_<)
Mengenai manajemen stres, entri di sini juga bisa membantu, lho! (^-^) Berdenyut

Referensi:
Durand, V. M., & Barlow, David H. (2007). Intisari Psikologi Abnormal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.



Hope it helpsBerdenyut

Have nice time, everyone!

Berdenyut
Berdenyut
Cinta Cinta
Cinta Cinta